z35W7z4v9z8w

Sabtu, 09 April 2016

ZIARAH KUBRA: SALAF BA’ALAWI-Habib Muhammad Rafiq Alkaff

1.  Pengertian Salaf
Dalam awal uraian ini ada baiknya dijelaskan definisi dari kata Salaf yang sebenarnya, agar menjadi persepsi dasar bagi isi buku ini, walaupun definisi yang sebenarnya lebih luas.  Definisi sederhana dari Salaf adalah sebutan bagi Golongan Ulama’ atau Auliya’(Para Wali) yang hidup pada masa lampau.
Para Salaf menurut kurun waktunya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.      Mutaqaddimin
2.      Muta’akhirin
Mengenai istilah lain (Salaf menurut Periode) terhadap beberapa golongan yang dikenal di dalam istilah Islam disebut juga beberapa, yaitu:
1.    Tabi’in
2.    Tabi’ Tabi’in
Menurut definisi yang lain, Salaf merupakan golongan Insan Muslim yang disempurnakan Allah SWT dalam ketaatan yang selama berabad-abad merupakan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Islam, loyalitas dan kredibilitas mereka Rahmatullahi Alaihim Ajma’in terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak diragukan lagi.  Dan nama-nama mereka dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Tokoh-tokohnya antara lain, Al-Imam Al-Ghazali, Al-Imam As-Syafi’i, Al-Imam As-Syech Abdul Qadir Al-Jailani dan lain-lain.
2. Pengertian Salaf Ba’alawi
Salaf Ba’alawi yang identik dengan isi buku ini mengandung pengertian perpaduan antara dua golongan yang diwakilkan oleh dua kata Salaf dan Ba’alawi. Makna Salaf telah kita ketahui, sedangkan golongan yang kedua Ba’alawi yaitu golongan Salaf keturunan Rasulullah SAW dari Sayyidina Husain RA.[1], dan dari Sayyidina Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa RA dari Al-Imam Alwi RA.
Salaf Ba’alawi secara luas mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan agama Islam di Indonesia dan bisa dikatakan juga bahwa mereka mempengaruhi struktur dasar dan adat istiadat kemasyarakatan Islami di Indonesia, seperti adat istiadat dalam lingkungan kesultanan yang ada di Nusantara. Seperti adat arak-arakan pengantin dengan menggunakan alat musik Rebana atau Terbangan seperti di Palembang dan Betawi, serta di beberapa daerah lainnya.  Dan membaca qasidah seperti Syarofal Anam di Palembang, Membaca Rawi di kalangan masyarakat Betawi, Ketimpring pada masyarakat Sunda, kebanyakan dari qasidah yang dibawakan tersebut berasal dari Diwan-diwan Salaf Ba’alawi, seperti Diwan Hadra dan lain-lain.
Selain itu Salaf Ba’alawi, Rahmatullahi ‘Alaihim Ajma’in, yang membawa Thoriqoh Salaf Ba’alawi yang bersumber dari mereka sendiri.  Serta juga beberapa susunan Wirid (Ratib) yang sudah sangat meluas di kalangan para santri pondok pesantren serta majlis-majlis ta’lim dan dzikir di Indonesia, seperti Ratib Al-Haddad, Ratib Al-Atthas dan lain-lain.
Salaf Ba’alawi memang mempunyai misi khusus dalam dakwah Islam yang sudah diamanatkan turun-temurun oleh para pendahulu mereka (mengenai hal ini terdapat dalam buku sejarah mereka, antara lain Syamsuzzohiroh, Masyra’irrawi, Jawahirus Syafaf dan lain-lain, baik itu yang dikumpulkan oleh mereka sendiri atau dari kalangan lain). Salaf Ba’alawi juga bisa dikatakan sebagai penghulu (pemimpin) bagi masyarakat Ba’alawi itu sendiri.
Mereka adalah pengayom, panutan (qudwah) dan para pendidik (murobbiy) utama yang menghasilkan manusia-manusia utama pula. Dengan penerapan metode-metode mereka yang mengandung nilai-nilai edukasi (Kultural Edukatif) yang telah sempurna telah berhasil meluaskan Agama Islam ke segala penjuru dunia seperti di Afrika, India, Malaysia, Thailand, Myanmar dan di tempat-tempat lainnya di dunia (Syamsuzzohiroh). Hal ini masih banyak diketahui dan diakui oleh para cendekiawan muslim dan pakar-pakar sejarah lainnya dan bisa dilihat serta ditelusuri melalui peninggalan-peninggalan mereka sebagai bukti yang tidak diragukan kebenarannya, hanya saja terkadang keberadaan mereka (khususnya di Indonesia) tenggelam dalam keadaan yang sedang berkecamuk (peperangan).
Mereka di banyak tempat dan negeri masih dielu-elukan masyarakat dan dimuliakan oleh mereka walaupun mereka telah wafat jauh sebelumnya, antara lain dengan memperingati hari wafatnya (Haul). Sebaliknya, selain mereka dielu-elukan masyarakat, tak jarang mereka juga dibenci dan dimusuhi segelintir orang yang didasari oleh kedengkian yang terkadang dengan sengaja menutup-nutupi kenyataan yang ada. Memang secara keseluruhan Sadah tidaklah sempurna, akan tetapi setidaknya dalam beberapa hal mereka mempunyai andil yang tidak bisa diremehkan begitu saja.
Mengenai status atau kedudukan mereka, Sadah Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW bukanlah seperti status kehormatan keningratan atau adat, hal ini merupakan dua hal yang sangat berbeda, bertentangan dan tidak ada hubungannya sama sekali.  Terlebih, orang Arab sebagai sebutan untuk mereka pun dirasakan kurang pantas dan tidak tepat, karena berdasarkan status kewarganegaraan mereka termasuk Warga Negara Indonesia, bukanlah orang asing.  Memang mereka identik dengan Arab tetapi orang Arab bukanlah mereka (malahan untuk sebagian kalangan masyarakat Ba’alawi bila dipanggil dengan sebutan“orang Arab” adalah menyakitkan).  Seperti Gujarat (sebutan ahli sejarah bagi mereka dibeberapa tempat) yang disebut sebagai penyebar-penyebar Agama Islam dari India kebanyakan adalah Ba’alawi yang berasal dari India, kalau memang ada yang mepertanyakan keabsahan keterangan ini silahkan anda baca Kitab Syamsuzzohiroh, edisi baru cetakan Jeddah, editor Muhammad Dhia’ atau mencek langsung silsilah mereka.
Pada umumnya masyarakat Ba’alawi dengan peraturan yang tak tertulis selalu mempunyai Silsilah, hal ini bukan sekedar peninggalan leluhur dalam konteks yang salah, akan tetapi lebih ditekankan sebagai pusaka peninggalan kakek mereka Baginda Rasulullah SAW, kalau nilai kebangsawanan dan gelar dari peninggalan feodalisme keningratan sebuah kerajaan yang semata-mata hanya dibuat oleh manusia masih dibanggakan dan dilestarikan generasi demi generasi, maka salahkah kiranya bila seorang Ba’alawi menyimpan dan menjaga gelar keturunannya sebagai keturunan Nabi dan Rasul (utusan) dari kerajaan Allah SWT yang mempunyai Kerajaan Langit dan Bumi??.  Harap ditarik garis pemisah antara kedua hal tersebut, dan mengenai hal inipun bukanlah bid’ah seperti yang dituduhkan oleh beberapa orang.
3.  Salaf Ba’alawi Palembang
Tercatat dalam sejarah, kaum Salaf berperan aktif dalam membela kedaulatan negara, seperti Imam Bonjol (dari keturunan Syahab Ba’alawi), Pangeran Syarif Ali Syech Abubakar (Palembang), Pangeran Abdul Hamid Diponegoro dan lain-lain. Mereka seperti yang kami utarakan diatas mempunyai pengaruh yang masih membekas dalam kehidupan modern sekarang ini.  Di Palembang sendiri ada beberapa tokoh yang cukup berpengaruh, seperti Syech Abdusshomad Al-Palembani (dari keturunan Al-Mahdali) pembawa Ratib Samman yang juga mursyid Thariqah Sammaniyah (dari Syech Muhammad Samman Al-Hasani di Madinah), juga Al-Habib Muhsin bin Ali Al-Musawa pendiri Zawiyah Daarul Ulum Mekkah yang telah termasyhur pada zamannya sebagai pencetak ulama-ulama terkemuka.  Selain itu cucu-cucu dari Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (salah seorang wali dan ulama terkemuka dunia pendiri Thariqah Al-Haddad, penyusun Ratib Al-Haddad), salah seorang keturunannya yaitu Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad yang makamnya dikenal dengan Keramat Tanjung Priok, masih dikeramatkan sampai sekarang (karena pada waktu hendak dibongkar, jasadnya masih utuh bahkan rambut dan kukunya bertambah panjang, percaya atau tidak hal ini sudah diketahui oleh masyarakat umum, beliau berasal dari daerah Seberang Ulu Palembang).
Mereka ini secara langsung maupun tak langsung turut mengangkat nama Kota Palembang, tetapi ironisnya, belum didapati satu naskahpun yang secara khusus menuliskan tentang kisah atau literatur mengenai mereka, kecuali Syech Abdusshomad Al-Palembani, itupun hampir punah karena yang kami temukan hanya sebuah salinan dari yang asli yaitu kitab manaqib beliau yang berjudul Faidhal Ihsani yang disalin ulang pada th 1937 M.  Tetapi didalam kitab manaqib beliau ini terdapat beberapa kerancuan dengan penyebab yang tidak jelas dan ada hal-hal yang dipandang bertentangan dengan kenyataan logis dan sejarah.
Syech Abdusshomad Al-Palembani
Syech Abdusshomad Al-Palembani lahir pada tahun 1150 H (1729 M), yaitu pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Baha’uddin ayah dari Sri Sultan Mahmud Badaruddin II. Ayah Syech Abdusshomad bernama Abdurrahman[2], dan ada lagi pendapat yang mengatakan ayah beliau bernama Syech Abdul Jalil.
Mengenai ayah beliau ini diterangkan berasal dari Malaka ada juga yang mengatakan dari Melayu (Malaysia), sedangkan ibundanya adalah seorang priyai Palembang asli. Namun pada kenyataannya ayah beliau ini adalah keturunan Al-Mahdali dari Sayyidina Husin R.A. dari Sayyidina Musa Al-Kazhim R.A.[3]
Di dalam salinan Kitab Faidhal Ihsani berbahasa Indonesia yang ditambah dengan beberapa keterangan dari pengalih bahasa, disebutkan bahwa Syech Abdusshomad Al-Palembani bukanlah keturunan dari bangsa asing, tetapi beliau adalah orang Palembang asli.  Namun pada bagian lain dari kitab tersebut juga disebutkan bahwa Syech Abdusshomad dipanggil dengan gelar Sayyid di Mekkah. Dari keterangan tersebut tampak adanya hal-hal yang bertentangan satu sama lain. Maka ada baiknya diungkapkan beberapa fakta mengenai hal ini agar menjadi bahan pertimbangan:
1.      Mengenai nasab beliau yang bermarga Al-Mahdali memang banyak didapati berasal dari daerah Malaka (Aceh, Malaysia) dan sekitarnya bahkan sampai sekarangpun masih ada.  Kenyataan  ini bukanlah hal yang tidak mungkin karena mengingat hubungan antara kedua kerajaan yaitu Kesultanan Aceh dan Palembang pada saat itu telah terjalin.
2.      Beliau dipanggil di Mekkah Al-Mukarromah dengan gelar Sayyid, gelar ini pada umumnya dipakai bagi kalangan Sadah Ba’alawi dan bukanlah panggilan kehormatan dalam status keagamaan.  Kalau seorang ulama’ maka ia cukup dipanggil dengan Syech, walaupun dibelakang namanya ada sebutan Al-Jawi hanyalah sebagai sebutan tempat asal, seperti yang disebutkan sesudah nama Sayyid Syech Muhammad An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi yang berasal dari Tanara Banten.[4]
3.      Beliau pernah mampir ke Zabid, satu daerah di Yaman Selatan dan bertemu dengan beberapa ulama’ Zabid yang terkemuka. Keterangan dalam salinan Kitab Faidhal Ihsani yang mengatakan bahwa beliau berpengaruh kuat dan seolah-olah membuat Ahli Zabid tidak mengerti apa-apa dalam Ilmu Thariqah atau Tasawwuf sangatlah tidak bisa dipertanggungjawabkan, mengingat Zabid merupakan daerahnya para ulama terkemuka dari seluruh prinsip ilmu (Fiqh, Ilmu Alat, Tasawwuf, Tafsir dan lain-lain), bahkan menurut cerita dari sebagian ihkwan yang pernah belajar disana, ada salah seorang tokoh ulama disana yang menyimpan sehelai rambut Rasulullah SAW yang diwarisi secara turun-temurun, yang mana pada masa itu  peringkatnya jauh lebih tinggi dari beliau.
Tetapi bilamana dikatakan bahwa beliau berziarah ke Zabid, maka hal ini akan lebih masuk akal.  Karena menilik dari kebiasaan tujuan bepergiannya para ulama tasawwuf, kalau bukan berdakwah, mengajar atau belajar, dapat saja mereka itu pergi berziarah menemui kerabat dekat dari keluarga mereka ataupun menemui para ulama di daerah tersebut untuk bermuzakarah.  Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Syech Abdusshomad Al-Palembani sempat dikagumi oleh para ulama di daerah Zabid tersebut.
4.       Perlu diketahui, Syech Abdusshomad Al-Palembani di dalam Kitabnya Siyrus Saalikin banyak juga memakai Qoul (riwayat Fatwa) dari Al-Imam Al-Qutbul Irsyad Wa Ghautsil Bilad Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yaitu seorang tokoh Salaf Ba’alawi di Hadhramaut (berdekatan dengan Zabid).  Ulama besar pendiri Thariqah Al-Haddad (Thariqah Salaf Ba’alawi) yang  terkemuka dan seorang waliyullah besar pada zamannya.
Dari kenyataan tersebut diketahui bahwa beliau sesudah ke Zabid sempat mengambil Thariqah Salaf Ba’alawi dan belajar dinegeri Tarim, Hadhramaut, karena Ulama’ Tarim  pada masa itu (abad 17-18 M) mempunyai pengaruh kuat terhadap Ulama’-Ulama’ Hijaz (Mekkah)[5] dan Zabid itu sendiri.
5.      Syech Abdusshomad Al-Palembani seorang yang Wara’, bilamana beliau bepergian beliau tidak mau minum dari gelas bekas orang lain. Oleh karena itu beliau selalu membawa perlengkapan sendiri, kebiasaan ini memang lazim dilakukan oleh para ulama tasawwuf terkemuka lainnya.  Perlengkapan minum beliau ini  sebenarnya masih disimpan secara turun temurun oleh salah satu keluarga Sadah Ba’alawi di Kampung Karang Panjang, Seberang Ulu  Palembang.  Hal ini tidak mungkin terjadi bilamana Syech Abdusshomad tidak mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan masyarakat Ba’alawi Palembang.
Wafatnya Syech Abdusshomad Al-Palembani masih dipertanyakan, tetapi ada satu pendapat yang mengatakan bahwa beliau syahid dalam peperangan melawan tentara Thailand dalam membela Kerajaan Islam Melayu.




<b>z35W7z4v9z8w</b>

[1] Mengenai keturunan Rasulullah SAW dari Sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha (Sayyidina Al-Husain RA dan Sayyidina Al-Hasan RA adalah anak dari Sayyidatina Fatimah dan Sayyidina Ali RA), tidaklah terputus walaupun keturunan Rasulullah SAW diturunkan oleh Sayyidatina Fatimah RA (perempuan) ketentuan ini berdasarkan riwayat yang Shohih sehingga menjadi Jumhur Ulama’ termasuk Imam keempat Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah, yaitu Imam Syafi’i,Imam Hanbali,Imam Hanafi dan Imam Maliki.Barangsiapa yang tidak berpegang (berihktilaf)kepada empat Mazhab ini berarti dia dari golongan yang tidak jelas (sesat) karena Ahli Sunnah wal Jama’ah hanya identik dengan  Imam 4 Mazhab untuk Mazhab Figh.
[2] Hal ini terdapat dalam kitab karangan beliau yang berjudul Zuhratul Murid Fi Bayan Kalimatuttauhid.
[3] Ada pendapat yang menyatakan bahwa ayah beliau adalah Sayyid Abdurrahman Aceh yang dimakamkan di Pemakaman Cinde Walang, Palembang.
[4] Kitab Kasyifus Saja, syarah dari Kitab Safinatun Naja, halaman 1, karangan Sayyid Syech Muhammad An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi.
[5] Terutama sebelum berdirinya Dinasti Ibnu Sa’ud yakni pada kepemimpinan Syarif Husin (sebelum Perang Dunia I).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar