1. Pengertian Salaf
Dalam awal uraian
ini ada baiknya dijelaskan definisi dari kata Salaf yang sebenarnya,
agar menjadi persepsi dasar bagi isi buku ini, walaupun definisi yang
sebenarnya lebih luas. Definisi
sederhana dari Salaf adalah sebutan bagi Golongan Ulama’ atau Auliya’(Para
Wali) yang hidup pada masa lampau.
Para Salaf menurut kurun
waktunya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.
Mutaqaddimin
2. Muta’akhirin
Mengenai istilah lain (Salaf menurut Periode)
terhadap beberapa golongan yang dikenal di dalam istilah Islam disebut juga
beberapa, yaitu:
1.
Tabi’in
2. Tabi’
Tabi’in
Menurut definisi
yang lain, Salaf merupakan golongan Insan Muslim yang disempurnakan Allah SWT
dalam ketaatan yang selama berabad-abad merupakan tokoh-tokoh yang berpengaruh
dalam sejarah Islam, loyalitas dan kredibilitas mereka Rahmatullahi Alaihim
Ajma’in terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak diragukan lagi. Dan nama-nama mereka dicatat dengan tinta
emas dalam sejarah. Tokoh-tokohnya antara lain, Al-Imam Al-Ghazali,
Al-Imam As-Syafi’i, Al-Imam As-Syech Abdul Qadir Al-Jailani
dan lain-lain.
2. Pengertian Salaf Ba’alawi
Salaf Ba’alawi yang identik dengan
isi buku ini mengandung pengertian perpaduan antara dua golongan yang
diwakilkan oleh dua kata Salaf dan Ba’alawi. Makna
Salaf telah kita ketahui, sedangkan golongan yang kedua Ba’alawi yaitu golongan
Salaf keturunan Rasulullah SAW dari Sayyidina Husain RA.[1], dan dari
Sayyidina Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa RA dari Al-Imam Alwi RA.
Salaf Ba’alawi secara luas mempunyai peranan penting
dalam pertumbuhan agama Islam di Indonesia dan bisa dikatakan juga bahwa mereka
mempengaruhi struktur dasar dan adat istiadat kemasyarakatan Islami di
Indonesia, seperti adat istiadat dalam lingkungan kesultanan yang ada di
Nusantara. Seperti adat arak-arakan pengantin dengan menggunakan alat musik Rebana
atau Terbangan seperti di Palembang dan Betawi, serta di beberapa daerah
lainnya. Dan membaca qasidah seperti Syarofal
Anam di Palembang, Membaca Rawi di kalangan masyarakat Betawi, Ketimpring
pada masyarakat Sunda, kebanyakan dari qasidah yang dibawakan tersebut berasal
dari Diwan-diwan Salaf Ba’alawi, seperti Diwan Hadra dan lain-lain.
Selain itu Salaf Ba’alawi, Rahmatullahi ‘Alaihim
Ajma’in, yang membawa Thoriqoh Salaf Ba’alawi yang bersumber dari mereka
sendiri. Serta juga beberapa susunan Wirid
(Ratib) yang sudah sangat meluas di kalangan para santri pondok pesantren serta
majlis-majlis ta’lim dan dzikir di Indonesia, seperti Ratib Al-Haddad, Ratib
Al-Atthas dan lain-lain.
Salaf Ba’alawi memang mempunyai misi khusus dalam
dakwah Islam yang sudah diamanatkan turun-temurun oleh para pendahulu mereka
(mengenai hal ini terdapat dalam buku sejarah mereka, antara lain
Syamsuzzohiroh, Masyra’irrawi, Jawahirus Syafaf dan lain-lain, baik itu yang
dikumpulkan oleh mereka sendiri atau dari kalangan lain). Salaf Ba’alawi juga
bisa dikatakan sebagai penghulu (pemimpin) bagi masyarakat Ba’alawi itu
sendiri.
Mereka adalah pengayom, panutan (qudwah) dan para
pendidik (murobbiy) utama yang menghasilkan manusia-manusia utama pula. Dengan
penerapan metode-metode mereka yang mengandung nilai-nilai edukasi (Kultural
Edukatif) yang telah sempurna telah berhasil meluaskan Agama Islam ke
segala penjuru dunia seperti di Afrika, India, Malaysia, Thailand, Myanmar dan
di tempat-tempat lainnya di dunia (Syamsuzzohiroh). Hal ini masih banyak
diketahui dan diakui oleh para cendekiawan muslim dan pakar-pakar sejarah
lainnya dan bisa dilihat serta ditelusuri melalui peninggalan-peninggalan
mereka sebagai bukti yang tidak diragukan kebenarannya, hanya saja terkadang
keberadaan mereka (khususnya di Indonesia) tenggelam dalam keadaan yang sedang
berkecamuk (peperangan).
Mereka di banyak tempat dan negeri masih
dielu-elukan masyarakat dan dimuliakan oleh mereka walaupun mereka telah wafat
jauh sebelumnya, antara lain dengan memperingati hari wafatnya (Haul).
Sebaliknya, selain mereka dielu-elukan masyarakat, tak jarang mereka juga
dibenci dan dimusuhi segelintir orang yang didasari oleh kedengkian yang
terkadang dengan sengaja menutup-nutupi kenyataan yang ada. Memang secara
keseluruhan Sadah tidaklah sempurna, akan tetapi setidaknya dalam beberapa hal
mereka mempunyai andil yang tidak bisa diremehkan begitu saja.
Mengenai status atau kedudukan mereka, Sadah
Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW bukanlah seperti status kehormatan
keningratan atau adat, hal ini merupakan dua hal yang sangat berbeda,
bertentangan dan tidak ada hubungannya sama sekali. Terlebih, orang Arab sebagai sebutan
untuk mereka pun dirasakan kurang pantas dan tidak tepat, karena berdasarkan
status kewarganegaraan mereka termasuk Warga Negara Indonesia, bukanlah orang
asing. Memang mereka identik dengan Arab
tetapi orang Arab bukanlah mereka (malahan untuk sebagian kalangan
masyarakat Ba’alawi bila dipanggil dengan sebutan“orang Arab” adalah
menyakitkan). Seperti Gujarat (sebutan
ahli sejarah bagi mereka dibeberapa tempat) yang disebut sebagai
penyebar-penyebar Agama Islam dari India kebanyakan adalah Ba’alawi yang
berasal dari India, kalau memang ada yang mepertanyakan keabsahan keterangan
ini silahkan anda baca Kitab Syamsuzzohiroh, edisi baru cetakan Jeddah, editor
Muhammad Dhia’ atau mencek langsung silsilah mereka.
Pada umumnya
masyarakat Ba’alawi dengan peraturan yang tak tertulis selalu mempunyai
Silsilah, hal ini bukan sekedar peninggalan leluhur dalam konteks yang salah,
akan tetapi lebih ditekankan sebagai pusaka peninggalan kakek mereka Baginda
Rasulullah SAW, kalau nilai kebangsawanan dan gelar dari peninggalan feodalisme
keningratan sebuah kerajaan yang semata-mata hanya dibuat oleh manusia masih
dibanggakan dan dilestarikan generasi demi generasi, maka salahkah kiranya bila
seorang Ba’alawi menyimpan dan menjaga gelar keturunannya sebagai keturunan
Nabi dan Rasul (utusan) dari kerajaan Allah SWT yang mempunyai Kerajaan Langit
dan Bumi??. Harap ditarik garis pemisah
antara kedua hal tersebut, dan mengenai hal inipun bukanlah bid’ah
seperti yang dituduhkan oleh beberapa orang.
3. Salaf Ba’alawi Palembang
Tercatat dalam sejarah, kaum Salaf berperan aktif
dalam membela kedaulatan negara, seperti Imam Bonjol (dari
keturunan Syahab Ba’alawi), Pangeran Syarif Ali Syech Abubakar
(Palembang), Pangeran Abdul Hamid Diponegoro dan
lain-lain. Mereka seperti yang kami utarakan diatas mempunyai pengaruh yang
masih membekas dalam kehidupan modern sekarang ini. Di Palembang sendiri ada beberapa tokoh yang
cukup berpengaruh, seperti Syech Abdusshomad Al-Palembani (dari
keturunan Al-Mahdali) pembawa Ratib Samman yang juga mursyid Thariqah
Sammaniyah (dari Syech Muhammad Samman Al-Hasani di Madinah), juga Al-Habib
Muhsin bin Ali Al-Musawa pendiri Zawiyah Daarul Ulum Mekkah yang telah
termasyhur pada zamannya sebagai pencetak ulama-ulama terkemuka. Selain itu cucu-cucu dari Al-Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad (salah seorang wali dan ulama terkemuka dunia
pendiri Thariqah Al-Haddad, penyusun Ratib Al-Haddad), salah seorang
keturunannya yaitu Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad yang
makamnya dikenal dengan Keramat Tanjung Priok, masih dikeramatkan sampai
sekarang (karena pada waktu hendak dibongkar, jasadnya masih utuh bahkan rambut
dan kukunya bertambah panjang, percaya atau tidak hal ini sudah diketahui oleh
masyarakat umum, beliau berasal dari daerah Seberang Ulu Palembang).
Mereka ini secara
langsung maupun tak langsung turut mengangkat nama Kota Palembang, tetapi
ironisnya, belum didapati satu naskahpun yang secara khusus menuliskan tentang
kisah atau literatur mengenai mereka, kecuali Syech Abdusshomad Al-Palembani,
itupun hampir punah karena yang kami temukan hanya sebuah salinan dari yang
asli yaitu kitab manaqib beliau yang berjudul Faidhal Ihsani yang
disalin ulang pada th 1937 M. Tetapi
didalam kitab manaqib beliau ini terdapat beberapa kerancuan dengan penyebab
yang tidak jelas dan ada hal-hal yang dipandang bertentangan dengan kenyataan
logis dan sejarah.
Syech Abdusshomad
Al-Palembani
Syech Abdusshomad
Al-Palembani lahir pada tahun 1150 H (1729 M), yaitu pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Baha’uddin ayah dari Sri Sultan Mahmud Badaruddin II. Ayah Syech
Abdusshomad bernama Abdurrahman[2], dan ada lagi pendapat
yang mengatakan ayah beliau bernama Syech Abdul Jalil.
Mengenai ayah beliau ini diterangkan berasal dari
Malaka ada juga yang mengatakan dari Melayu (Malaysia), sedangkan ibundanya
adalah seorang priyai Palembang asli. Namun pada kenyataannya ayah beliau ini
adalah keturunan Al-Mahdali dari Sayyidina Husin R.A. dari
Sayyidina Musa Al-Kazhim R.A.[3]
Di dalam salinan Kitab Faidhal Ihsani berbahasa
Indonesia yang ditambah dengan beberapa keterangan dari pengalih bahasa,
disebutkan bahwa Syech Abdusshomad Al-Palembani bukanlah keturunan dari bangsa
asing, tetapi beliau adalah orang Palembang asli. Namun pada bagian lain dari kitab tersebut
juga disebutkan bahwa Syech Abdusshomad dipanggil dengan gelar Sayyid
di Mekkah. Dari keterangan tersebut tampak adanya hal-hal yang bertentangan
satu sama lain. Maka ada baiknya diungkapkan beberapa fakta mengenai hal ini
agar menjadi bahan pertimbangan:
1. Mengenai
nasab beliau yang bermarga Al-Mahdali memang banyak didapati
berasal dari daerah Malaka (Aceh, Malaysia) dan sekitarnya bahkan sampai
sekarangpun masih ada. Kenyataan ini bukanlah hal yang tidak mungkin karena
mengingat hubungan antara kedua kerajaan yaitu Kesultanan Aceh dan Palembang
pada saat itu telah terjalin.
2. Beliau
dipanggil di Mekkah Al-Mukarromah dengan gelar Sayyid, gelar ini
pada umumnya dipakai bagi kalangan Sadah Ba’alawi dan bukanlah panggilan
kehormatan dalam status keagamaan. Kalau
seorang ulama’ maka ia cukup dipanggil dengan Syech, walaupun
dibelakang namanya ada sebutan Al-Jawi hanyalah sebagai sebutan tempat
asal, seperti yang disebutkan sesudah nama Sayyid Syech Muhammad An-Nawawi
Al-Bantani Al-Jawi yang berasal dari Tanara Banten.[4]
3. Beliau
pernah mampir ke Zabid, satu daerah di Yaman Selatan dan bertemu
dengan beberapa ulama’ Zabid yang terkemuka. Keterangan dalam salinan
Kitab Faidhal Ihsani yang mengatakan bahwa beliau berpengaruh kuat dan
seolah-olah membuat Ahli Zabid tidak mengerti apa-apa dalam Ilmu Thariqah atau
Tasawwuf sangatlah tidak bisa dipertanggungjawabkan, mengingat Zabid merupakan
daerahnya para ulama terkemuka dari seluruh prinsip ilmu (Fiqh, Ilmu Alat,
Tasawwuf, Tafsir dan lain-lain), bahkan menurut cerita dari sebagian ihkwan
yang pernah belajar disana, ada salah seorang tokoh ulama disana yang menyimpan
sehelai rambut Rasulullah SAW yang diwarisi secara turun-temurun, yang mana
pada masa itu peringkatnya jauh lebih
tinggi dari beliau.
Tetapi bilamana dikatakan bahwa beliau berziarah ke Zabid, maka hal ini
akan lebih masuk akal. Karena menilik
dari kebiasaan tujuan bepergiannya para ulama tasawwuf, kalau bukan berdakwah,
mengajar atau belajar, dapat saja mereka itu pergi berziarah menemui kerabat
dekat dari keluarga mereka ataupun menemui para ulama di daerah tersebut untuk
bermuzakarah. Tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa Syech Abdusshomad Al-Palembani sempat dikagumi oleh para
ulama di daerah Zabid tersebut.
4. Perlu diketahui, Syech Abdusshomad
Al-Palembani di dalam Kitabnya Siyrus Saalikin banyak juga
memakai Qoul (riwayat Fatwa) dari Al-Imam Al-Qutbul Irsyad Wa Ghautsil
Bilad Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yaitu seorang tokoh Salaf
Ba’alawi di Hadhramaut (berdekatan dengan Zabid). Ulama besar pendiri Thariqah Al-Haddad
(Thariqah Salaf Ba’alawi) yang terkemuka
dan seorang waliyullah besar pada zamannya.
Dari kenyataan tersebut diketahui bahwa beliau sesudah ke Zabid sempat
mengambil Thariqah Salaf Ba’alawi dan belajar dinegeri Tarim, Hadhramaut,
karena Ulama’ Tarim pada masa itu (abad
17-18 M) mempunyai pengaruh kuat terhadap Ulama’-Ulama’ Hijaz (Mekkah)[5] dan Zabid itu
sendiri.
5. Syech
Abdusshomad Al-Palembani seorang yang Wara’, bilamana beliau bepergian
beliau tidak mau minum dari gelas bekas orang lain. Oleh karena itu beliau
selalu membawa perlengkapan sendiri, kebiasaan ini memang lazim dilakukan oleh
para ulama tasawwuf terkemuka lainnya.
Perlengkapan minum beliau ini
sebenarnya masih disimpan secara turun temurun oleh salah satu keluarga
Sadah Ba’alawi di Kampung Karang Panjang, Seberang Ulu Palembang.
Hal ini tidak mungkin terjadi bilamana Syech Abdusshomad tidak mempunyai
hubungan yang cukup dekat dengan masyarakat Ba’alawi Palembang.
Wafatnya Syech Abdusshomad
Al-Palembani masih dipertanyakan, tetapi ada satu pendapat yang mengatakan
bahwa beliau syahid dalam peperangan melawan tentara Thailand dalam membela
Kerajaan Islam Melayu.
<b>z35W7z4v9z8w</b>
[1] Mengenai keturunan Rasulullah SAW dari Sayyidatina Fatimah Radhiallahu
Anha (Sayyidina Al-Husain RA dan Sayyidina Al-Hasan RA adalah anak dari
Sayyidatina Fatimah dan Sayyidina Ali RA), tidaklah terputus walaupun keturunan
Rasulullah SAW diturunkan oleh Sayyidatina Fatimah RA (perempuan) ketentuan ini
berdasarkan riwayat yang Shohih sehingga menjadi Jumhur Ulama’ termasuk Imam
keempat Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah, yaitu Imam Syafi’i,Imam Hanbali,Imam
Hanafi dan Imam Maliki.Barangsiapa yang tidak berpegang (berihktilaf)kepada
empat Mazhab ini berarti dia dari golongan yang tidak jelas (sesat) karena Ahli
Sunnah wal Jama’ah hanya identik dengan
Imam 4 Mazhab untuk Mazhab Figh.
[2] Hal ini terdapat dalam kitab karangan beliau yang berjudul Zuhratul
Murid Fi Bayan Kalimatuttauhid.
[3] Ada pendapat yang menyatakan bahwa ayah beliau adalah Sayyid
Abdurrahman Aceh yang dimakamkan di Pemakaman Cinde Walang, Palembang.
[4] Kitab Kasyifus Saja, syarah dari Kitab Safinatun Naja,
halaman 1, karangan Sayyid Syech Muhammad An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi.
[5] Terutama sebelum berdirinya Dinasti Ibnu Sa’ud yakni pada kepemimpinan
Syarif Husin (sebelum Perang Dunia I).